MASALAH WUDHU



MASALAH WUDHU


Mengoptimalkan Wudhu Sebaik Mungkin

                Dari Ubaid bin Umair, bahwa Umar bin Khaththab r.a pernah melihat seoranglaki-laki di mana sebagian kecil dari kakinya terlihat masih kering, belum terkena air saat berwudhu. Umar kemudian berkata, “Apakah dengan wudhu seperti ini engkau melakukan shalat?” Umar lalu menyuruhnya untuk membasahi bagian yang masih kering, yang belum terkena air, dan memerintahnya mengulangi shalatnya.
                Dalam riwayat lain, Umar berkata kepadanya, ”Apakah dengan wudhu seperti ini engkau melakukan shalat?” Ia menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, cuas=ca sangat dingin, sementara itu, aku tidak memiliki sesuatu yang bisa menghangatkan tubuh.”
Setelah mendengar jawaban tersebut, Umar merasa iba dan berkata, “Basahilah telapak kakimu yang belum engkau basahi sampai pada lekuk bagian bawah, dan ulangi shalatmu’!”
                Hadis di atas bisa dijadikan dalil (bukti), bahwa dalam melakukan fardhu wudhu tidak harus dilakukan secara kontinuitas (muwaalat) antara anggota wudhu satu dengan yang lain. Mazdhab inilah yang diikuti oleh Hanafi, Sufyan ats-Tsauri, Ahmaf ---- dalam sebagian riwayatnya ---- dan Syafi’i dalam qaul jadid (pendapat Imam Syafi’i yang baru setelah adanya revisi).
                Di riwayatkan Imam Muslim dan Ahmad, dari Umar r.a., bahwa ada seorang laki-laki berwudhu, dimana sebagian anggota tubuh (yang wajib terkena air wudhu) di bagian kaki (selebar kuku) belum terkena air. Kemudian Nabi saw. melihatnya, beliau lantas bersabda, “Kembalilah lalu perbaikilah wudhumu!” Laki-laki itu kemudian memperbaiki wudhunya dan mengerjakan shalat.
                Seandainya kontinuitas (muwaalat) itu termasuk fardhu wudhu, tentu Rasulullah saw. akan bersabda, “Kembalilah lalu ulangilah wudhumu!” Akan tetapi beliau bersabda, “Perbaikilah wudhumu!” Memperbaiki sesuatu, artinya adalah menyempurnakananya. Pendapat inilah yang kuat, karena argumentasinya kuat.
                Umar r.a. sangat berkeinginan untuk bisa berwudhu dengan membasahi seluruh anggota wudhu semaksimal mungkin. Ini bisa dilihat dalam riwayat Ibnu Abi Syaibah, bahwa Umar melihat seorang laki-laki mencuci bagian atas telapak kakinya, sementara bagian bawahnya tertinggal; tidak terkena air. Umar pun berkata kepadanya, “Mengapa engkau meninggalkannya? Untuk neraka-kah?
                Umar r.a. juga sangat berkeinginan bisa membasahi bagian yang ada di sela-sela jenggot dan jemari.
                Ibnu Abi Syaibah, dan Ibnu Hazm dalam al-Muhalla meriwayakan, bahwa Umar lewat pada suatu kaum dimana mereka sedang berwudhu, lalu Umar berkata, “Susupkanlah sela jari jemari pada jenggot dan pada sela-sela jari jemari yang lain!”


Menyentuh Perempuan, Apakah Membatalkan Wudhu?

Berkaitan dengan masalah ini ada dua riwayat yang masyhur dari Umar r.a.
                Pertama, menyentuh perempuan (bukan mahram) adalah membatalkan wudhu, demikian pula menciumnya.
                Diriwayatkan ad-Daruquthni dari Ibnu Umar r.a., bahwa Umar berkata, “Sesungguhnya mencium termasuk dalam kategori menyentuh, oleh sebab itu berwudhulah setelah melakukannya.” Dan dikatakannya pula, “Barangsiapa mencium istrinya atau meraba dengan tangannya, maka ia harus berwudhu.”
                Diriwayatkan ad-Daruqthni dari Ibnu Umar r.a., bahwa Umar berkata, “Sesungguhnya mencium termasuk dalam kategori menyentuh, maka karena itu berwudhulah.” Dan Umar berkata pula, “Barangsiapa mencium istrinya atau meraba dengan tangannya, maka ia harus berwudhu.”
                Kedua, menyentuh perempuan tidak membatalkan wudhu.
                Diriwayatkan Abdurrazzaq, bahwa Umar mencium istrinya, lalu shalat dan tidak berwudhu lagi. Dan dalam riwayat yang lain disebutkan, bahwa Umar mencium istrinya, kemudian shalat dan tidak berwudhu.
                Sebagian Ulama berusaha memadukan dua riwayat di atas, bahwa yang dimaksud Umar “menyentuh” yang membatalkan wudhu ialah menyentuh yang dilakukan dengan syahwat, sedangkan menyentuh yang dilakukan tanpa syahwat adalah tidak membatalkankan wudhu.

Menyentuh Kemaluan

Umar r.a. berpendapat bahwa menyentuh kemaluan adalah membatalkan wudhu.
                Diriwayatkan al-Baihaqi dalam as-Sunan dan Abdurrazzaq dalam al-Mushannaf, bahwa saat Umar sedang shalat berjamaah, tiba-tiba tanpa sengaja tangannya menyentuh kemaluan, kemudian Umar memberi isyarat kepada jamaah agar mereka tetap diam, lalu beliau pun berwudhu, dan kembali menyempurnakan shalatnya yang masih tersisa bersama sahabat-sahabat yang lain.
                Dalam riwayat lain disebutkan, bahwa Umar berkata, “Barangsiapa menyentuh kemaluannya, maka hendaklah ia berwudhu.”
                Apabila menyentuh kemaluan sendiri membatalkan wudhu, apalagi menyentuh kemaluan orang lain.

Mengulangi Bersetubuh Sebelum Mandi

                Diriwayatkan Abdurrazzaq, bahwa Umar r.a. ditanya tentang seseorang yang bersetubuh dengan istrinya kemudian dia ingin mengulanginya lagi. Umar menjawab, “Hendaklah dia berwudhu.”
                Dalam riwayat lain dari Ibnu Abi Syaibah, “Apabila seseorang bersetubuh dengan istrinya, kemudian ingin mengulanginya lagi, maka hendaklah berwudhu.”


Sumber: Buku Fatwa dan Ijtihad Umar bin Khaththab : ensiklopedia berbagai persoalan fiqh/ oleh Muhammad Abdul Aziz al-Halawi.

Post a Comment

0 Comments